NataProperty.com, Tangerang– Tahun 2018 ini sejumlah pilkada atau pemilihan kepala daerah di Indonesia dilakukan serentak. Sementara pada 2019 mendatang, akan dilangsungkan pemilihan presiden. Pesta politik bisa memengaruhi bisnis dan ekonomi. Lantas apakah hal ini juga berimplikasi pada industri dan bisnis properti di tanah air.
Meski tahun 2018 yang akrab sebagai tahun politik, kenyataannya sektor properti tetap saja memiliki harapan untuk tumbuh. Selain angka kekurangan hunian (backlog) yang masih tinggi, pertumbuhan ekonomi tahun ini diprediksi berbagai kalangan bakal lebih cerah dibanding tahun lalu.
Berdasarkan data dari beberapa sumber menyebutkan bahwaharga properti berpeluang naik hingga 5%, sementara suplai hunian berpeluang meningkat hingga 20%. Salah satu indikator pendukungnya adalah kebijakan Pemerintah.
Kebijakan pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang terus berfokus kepada penyediaan rumah terutama untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Untuk itu, pada periode 2015-2019, pemerintah menganggarkan dana Rp327,5 triliun untuk perumahan.
Kemampuan pemerintah untuk mendorong ekonomi nasional ke arah yang lebih positif setelah terkena dampak ekonomi global pada semester kedua 2016, periode politik yang menghangat pada akhir 2016 hingga awal 2017, serta inflasi pada Hari Raya Idul Fitri 2017 terbukti mampu menjaga optimisme pasar properti.
Kebijakan pemerintah dalam pembiayaan perumahan masih akan menjadi penentu pasar properti di 2018. Harga dan suplai properti, terutama pada sektor residensial, diperkirakan meningkat pada 2018. Permintaan pasar akan tetap stabil, terutama pada pasar properti di bawah Rp1 miliar.
Proyek properti baru yang menawarkan kemudahan akses, transportasi publik, serta jaminan keamanan akan menjadi faktor utama yang mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli properti tersebut.
Sejumlah kebijakan pemerintah lainnya seperti BI 7-Day Repo Rate, Tax Amnesty, Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP),Paket Kebijakan Ekonomi, dan lainnya mendorong pertumbuhan properti nasional, yang sempat turun tajam pada tahun 2016 lalu.
Selain itu, peranan bank sentral terkait properti seperti LTV (loan to value). Adanya penurunan LTV diharapkan bisa membuat masyarakat bisa mengakses kredit pemilikan rumah (KPR) lebih mudah.
Sementara di sisi permintaan, porsi terbesar akan datang dari rumah tipe menengah dengan harga di bawah Rp 700 Juta. Konsumen akan mencari perumahan tipe klaster, terutama di wilayah satelit kota besar dengan akses menuju pintu tol dan sarana transportasi massal. Seiring tumbuhnya suku bunga untuk Kredit Pemilikian Apartemen (KPA) maka akan terjadi pertumbuhan yang moderat pada hunian jenis apartemen. (SU)