NataProperty.com, Tangerang – Pelaku pasar meyakini
industri properti di Indonesia pada tahun ini akan bergerak lebih aktif. Proyeksi tersebut tak lepas dari perkembangan pasar properti tahun 2017 yang sudah menunjukkan masa transisi ke arah positif.
Menurut laporan dari konsultan properti ternama menyatakan bahwa aktivitas penjualan pasar hunian vertikal di kuartal akhir tahun lalu cenderung stabil dengan tingkat serapan sebesar 63%. Permintaan terbesar datang dari segmen kelas menengah dan menengah bawah.
Menurutnya laporan tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi (PDB) merupakan salah satu faktor yang sangat memengaruhi bisnis properti. Oleh karenanya, dengan pencapaian PDB Tanah Air di atas 5% pada tahun lalu, peluang bisnis itu terbuka lebar dan harus dimanfaatkan namun tetap waspada menjelang tahun politik.
Pertumbuhan ekonomi (PDB) merupakan salah satu faktor yang sangat memengaruhi bisnis properti. Oleh karenanya, dengan pencapaian PDB Tanah Air di atas 5% pada tahun lalu, peluang bisnis itu terbuka lebar dan harus dimanfaatkan namun tetap waspada menjelang tahun politik. Selain itu, sumber tersebut mengatakan bahwa produk properti baru bisa meningkat asalkan berada dekat sarana transportasi massal, sebab dianggap sebagai nilai tambah dan daya tarik tersendiri bagi masyarakat.
Sementara itu menurut hasil Survei Harga Properti Residensial yang dilakukan Bank Indonesia (BI) untuk kuartal IV-2017, terungkap bahwa konsumen meyakini harga properti residensial pada kuartal I-2018 meningkat sebesar 0,72% (qtq). Kenaikan harga hunian diperkirakan akan terjadi pada semua tipe, terutama tipe kecil sebesar 1,22%, qtq.
Market yang bergerak naik ditandai dengan intensitas masyarakat untuk membeli hunian, utamanya yang dicari adalah unit tipe kecil. Pada pangsa apartemen, tipe studio dan satu kamar tidur tentu jadi pilihan favorit. Meski unit tipe kecil umumnya dihargai dengan range yang lebih terjangkau dan luas area yang terbatas, namun tetap saja dalam urusan kualitas bangunan dan penataan ruang sebaiknya tidak boleh dikesampingkan.
Selain itu, segmen properti mewah di Ibukota sendiri sempat mengalami pertumbuhan mencapai dua digit pada tahun 2010-2014. Jakarta bahkan pernah menduduki posisi pertama untuk pasar hunian kelas atas dengan pertumbuhan harga paling cepat di tahun 2013 menurut Knight Frank Wealth Report.
Sayangnya, sejak kondisi ekonomi yang melambat ditambah kebijakan dari Bank Indonesia yang mengekang tingginya spekulasi pasar membuat property market ikut melesu. Terlebih saat Pemerintah merevisi pajak properti kategori mewah dan super mewah di 2015 lalu. Aturan ini justru merugikan konsumen level high end dan menyebabkan mereka berhenti membeli dan
berinvestasi properti.
Secara umum, permintaan properti mewah masih lemah, kecuali untuk proyek-proyek tertentu di mana mereka masih dapat menjual dengan progres yang baik. Ini efek dari lokasi, kestabilan pasar sewa, konsep dan desain yang sesuai, serta ukuran unit yang layak dipasarkan untuk investasi.
Melihat pangsa properti premium yang masih bergejolak, permintaan tertinggi akan tetap berasal dari pembeli yang mencari unit-unit tipe kecil. Untuk hunian vertikal, tipe studio dan satu kamar tidur menjadi pencarian utama konsumen. (SU)