Hingga saat ini, masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) masih sulit mengakses rumah subsidi. Tidak heran jika angka backlog rumah masih tinggi, mencapai 11,4 juta unit. Meskipun pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi angka backlog, mulai dari sisi regulasi hingga pembiayaan.
Sayangnya, mayoritas rumah subsidi dibangun jauh dari pusat kota. Sulit bagi MBR untuk memperoleh rumah subsidi di area Jabodetabek. Hal ini membuat MBR yang bekerja di pusat kota menjadi dilema.
Lokasi dan waktu tempuh dari kantor ke rumah menjadi faktor-faktor yang paling memberatkan MBR. Di sisi lain, pengembang seolah mencari untung dari Program Sejuta Rumah.
Dengan memakai slogan ‘subsidi’, masyarakat seolah-olah digiring untuk membeli produk mereka meskipun lokasinya sangat jauh dari pusat kota.
Adanya bantuan pemerintah berupa Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) tidak lantas membuat MBR mudah memperoleh rumah. Harga rumah yang terus melambung tinggi dengan cicilan paling rendah Rp 1 juta-an per bulan membuat MBR sulit mengakses rumah subsidi.
Ditambah lagi, pengembang banyak menggunakan trik ‘peningkatan spek’ untuk menjual rumah komersial agar konsumen tetap bisa membeli rumah menggunakan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Alhasil masyarakat berpenghasilan menengah lah yang diuntungkan.
Terbukti banyak kasus di lapangan yang menunjukkan jika banyak pembeli rumah subsidi mampu merenovasi rumahnya menjadi rumah mewah ketika dihuni dan ada pula yang membeli dua kavling sekaligus dan pemerintah tidak pernah melakukan evaluasi.