Jakarta adalah salah satu wilayah di republik ini yang mendapatkan beberapa keistimewaan karena ‘peran’-nya sebagai pusat pemerintahan sekaligus ekonomi. Salah satu keistimewaan tersebut terkait dengan kebijakan Koefiesiensi Lantai Bangunan (KLB).
Beberapa area di Jakarta memiliki nilai KLB yang cukup tinggi, yakni diperbolehkan membangun gedung berlantai maksimum 10, terutama wilayah-wilayah yang masuk dalam jalur TOD (Transit Oriented Development).
Bahkan bagi pembangunan gedung di pusat kota, dekat terminal atau stasiun diperbolehkan membangun lebih dari 10 lantai. Kebijakan ini bertujuan untuk memaksimalkan ruang kota yang tersedia untuk peningkatan pemasukan daerah.
Sayangnya, kebijakan KLB ini juga rentan tindakan koruptif. Mengapa demikian? Karena penerapan denda bagi pelanggarannya justru menjadi semacam ‘pembenaran atas kesalahan’ yang bisa dihapuskan hanya dengan membayar uang atau kompensasi.
Akibatnya, penyerapan anggaran DKI Jakarta tidak berhasil mencapai 50% dalam setahun. Untuk itu, aturan KLB perlu dievaluasi kembali dan harus transparan. Jika tidak, pengembang berpotensi mengulang pelanggaran dan akhirnya bukan hanya pemerintah yang dirugikan namun juga lingkungan.